Kamis, 12 Januari 2017

Hubungan Literasi Sains Dengan Aspek Afektif Dalam Kurikulum Jurusan IPA Tingkat SMP


Dalam proses belajar dan pembelajaran di sekolah, ada beberapa aspek yang dinilai oleh guru, antara lain adalah aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sebagian besar dari kita sudah tahu apa yang dimaksud dengan ketiga aspek tersebut, terutama bagi yang bergelut di bidang pendidikan. Ketiga aspek tersebut menjadi acuan untuk merumuskan kurikulum pendidikan dan metode pembelajarannya. Kolaborasi setiap aspek dalam perumusan kurikulum pun harus seimbang dan sesuai dengan kebutuhan murid.
Namun sayangnya, tidak jarang paradigma kebanyakan orang terutama orangtua murid justru menganggap sebelah mata atau remeh  asupan ranah afektif yang harus didapakan oleh murid. Misalnya saja orangtua akan lebih bangga jika anaknya mendapat nilai tinggi untuk mata pelajaran eksak dibandingkan dengan nilai pada mata pelajaran agama islam atau pencapaian lainnya yang terkait dengan sikap, nilai, dan norma. Hal ini tentu berdampak pada mindset atau cara berfikir siswa bagaimana caranya agar selalu mendapatkan nilai tinggi untuk pelajaran eksak yang dianggap sulit. Tidak peduli cara itu baik atau tidak, yang penting bisa mendapatkan nilai yang bagus dan memuaskan. Hal ini bisa bertambah buruk jika guru yang terkait juga tidak begitu perhatian dengan muridnya.
Jika hal tersebut terus terjadi dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama, maka tujuan pembelajaran disekolah tidak akan berhasil sesuai yang diinginkan. Ketika nilai mata pelajaran menjadi satu-satunya tolak ukur untuk ketercapaian siswa dimata orang banyak.
Menurut Elsy Zuliani di dalam jurnalnya, ranah afektif merupakan ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi. Ranah kognitif berkitan erat dengan segala aspek yang dapat menambah wawasan pengetahuan siswa. Berbagai macam metode atau pendekatan dirumuskan dan diterapkan supaya siswa dapat menambah pengetahuannya dan pengalaman belajar dengan efektif sehingga mendapatkan  hasil yang memuaskan.
Salah satu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran IPA di sekolah. Menurut Azhar dalam Ade Sanjaya (1993, 7), keterampilan proses merupakan kemampuan siswa untuk mengelola (memperoleh) yang di dapat dalam kegiatan belajar mengajar yang memberikan kesempatan seluas – luasnya pada siswa untuk mengamati, menggolongkan, menafsirkan, meramalkan, menerapkan merencanakan penelitian, mengkomunikasikan hasil perolehan tersebut.
Dengan demikian, melalui pendekatan keterampilan proses tersebut siswa dapat aktif mempelajari sesuatu untuk mewujudkan minat yang akhirnya mengarah pada suatu keterlibatan yang dilandasi rasa tanggung jawab di dalam menghadapi dan mengatasi masalah – masalah ketika belajar. Pendekatan keterampilan proses sangat berkaitan dengan kemampuan literasi sains siswa. Dengan kemampuan literasi sains yang baik, maka siswa dapat dengan mudah dan menikmati proses belajar IPA melalui pendekatan keterampilan proses. Begitu juga sebaliknya, dengan pendekatan keterampilan proses maka siswa akan terlatih dan terbiasa dengan literasi sains.
Dunia sekarang ini sedang menggencarkan kemampuan literasi sains bagi para pelajar di sekolah. Terutama bagi negara- negara berkembang seperti Indonesia. Lain halnya dengan negara berkembang, di negara maju kemampuan literasi sains yang dimiliki oleh pelajarnya sudah sangat baik. Dari tingkat sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi mereka sudah mendapatkan pembelajaran yang menuntut keaktifan siswa dan berpikir kreatif untuk memecahkan masalah.
Berdasarkan data yang didapat dari PISA tahun 2009, kemampuan literasi sains di Indonesia masih sangat rendah, yaitu dengan perolehan skor 383 dan peringkat ke 57 dari 65 negara peserta. Kemudian tidak mengalami perubahan yang berarti dari tahun ke tahun. Kemampuan literasi sains tertinggi diperoleh negara Singapura, Cina, dan beberapa negara di Eropa. Mengapa Indonesia bisa sangat tertinggal jauh sedangkan Indonesia memiliki Sumber Daya Manusia yang banyak? . Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan literasi sains. Salah satunya budaya membaca para pelajar indonesia masih tergolong rendah.
Literasi sains sebaiknya sudah diterapkan pada tingkat Sekolah Dasar. Karena untuk mendapatkan hasil yang maksimal dibutuhkan pembiasaan dalam waktu yang cukup lama. Terutama untuk membiasakan budaya membaca dan sebagainya.
Literasi sains sangat berpengaruh terhadap ketercapaian aspek afektif selain pada aspek kognitif. Karena siswa tidak hanya terlatih dalam pengalaman belajar dan pemahaman materi, tetapi juga bertanggung jawab atas apa yang dipelajarinya selama proses belajar. Hal ini berkaitan dengan nilai, norma, dan moral. Jika kemampuan literasi sains seseorang rendah, maka dampak negatifnya tidak hanya dirasakan ketika seseorang berada di bangku sekolah maupun perkuliahan.Tapi juga dirasakan ketika orang tersebut berada di lingkungan masyarakat, dan akan terlihat ketika menanggapi sebuah persoalan.