Dalam
proses belajar dan pembelajaran di sekolah, ada beberapa aspek yang dinilai
oleh guru, antara lain adalah aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Sebagian besar dari kita sudah tahu apa yang dimaksud dengan ketiga aspek
tersebut, terutama bagi yang bergelut di bidang pendidikan. Ketiga aspek
tersebut menjadi acuan untuk merumuskan kurikulum pendidikan dan metode pembelajarannya.
Kolaborasi setiap aspek dalam perumusan kurikulum pun harus seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan murid.
Namun
sayangnya, tidak jarang paradigma kebanyakan orang terutama orangtua murid
justru menganggap sebelah mata atau remeh
asupan ranah afektif yang harus didapakan oleh murid. Misalnya saja
orangtua akan lebih bangga jika anaknya mendapat nilai tinggi untuk mata
pelajaran eksak dibandingkan dengan nilai pada mata pelajaran agama islam atau
pencapaian lainnya yang terkait dengan sikap, nilai, dan norma. Hal ini tentu
berdampak pada mindset atau cara berfikir siswa bagaimana caranya agar selalu
mendapatkan nilai tinggi untuk pelajaran eksak yang dianggap sulit. Tidak
peduli cara itu baik atau tidak, yang penting bisa mendapatkan nilai yang bagus
dan memuaskan. Hal ini bisa bertambah buruk jika guru yang terkait juga tidak
begitu perhatian dengan muridnya.
Jika
hal tersebut terus terjadi dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama, maka tujuan
pembelajaran disekolah tidak akan berhasil sesuai yang diinginkan. Ketika nilai
mata pelajaran menjadi satu-satunya tolak ukur untuk ketercapaian siswa dimata
orang banyak.
Menurut
Elsy Zuliani di dalam jurnalnya, ranah afektif merupakan ranah yang berkaitan
dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat
diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif
tingkat tinggi. Ranah kognitif berkitan erat dengan segala aspek yang dapat
menambah wawasan pengetahuan siswa. Berbagai macam metode atau pendekatan
dirumuskan dan diterapkan supaya siswa dapat menambah pengetahuannya dan
pengalaman belajar dengan efektif sehingga mendapatkan hasil yang memuaskan.
Salah
satu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan keterampilan proses dalam
pembelajaran IPA di sekolah. Menurut Azhar dalam Ade Sanjaya (1993, 7),
keterampilan proses merupakan kemampuan siswa untuk mengelola (memperoleh) yang
di dapat dalam kegiatan belajar mengajar yang memberikan kesempatan seluas –
luasnya pada siswa untuk mengamati, menggolongkan, menafsirkan, meramalkan,
menerapkan merencanakan penelitian, mengkomunikasikan hasil perolehan tersebut.
Dengan
demikian, melalui pendekatan keterampilan proses tersebut siswa dapat aktif
mempelajari sesuatu untuk mewujudkan minat yang akhirnya mengarah pada suatu
keterlibatan yang dilandasi rasa tanggung jawab di dalam menghadapi dan
mengatasi masalah – masalah ketika belajar. Pendekatan keterampilan proses
sangat berkaitan dengan kemampuan literasi sains siswa. Dengan kemampuan
literasi sains yang baik, maka siswa dapat dengan mudah dan menikmati proses
belajar IPA melalui pendekatan keterampilan proses. Begitu juga sebaliknya,
dengan pendekatan keterampilan proses maka siswa akan terlatih dan terbiasa
dengan literasi sains.
Dunia
sekarang ini sedang menggencarkan kemampuan literasi sains bagi para pelajar di
sekolah. Terutama bagi negara- negara berkembang seperti Indonesia. Lain halnya
dengan negara berkembang, di negara maju kemampuan literasi sains yang dimiliki
oleh pelajarnya sudah sangat baik. Dari tingkat sekolah dasar hingga ke
perguruan tinggi mereka sudah mendapatkan pembelajaran yang menuntut keaktifan
siswa dan berpikir kreatif untuk memecahkan masalah.
Berdasarkan
data yang didapat dari PISA tahun 2009, kemampuan literasi sains di Indonesia
masih sangat rendah, yaitu dengan perolehan skor 383 dan peringkat ke 57 dari
65 negara peserta. Kemudian tidak mengalami perubahan yang berarti dari tahun
ke tahun. Kemampuan literasi sains tertinggi diperoleh negara Singapura, Cina,
dan beberapa negara di Eropa. Mengapa Indonesia bisa sangat tertinggal jauh
sedangkan Indonesia memiliki Sumber Daya Manusia yang banyak? . Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi kemampuan literasi sains. Salah satunya budaya membaca
para pelajar indonesia masih tergolong rendah.
Literasi
sains sebaiknya sudah diterapkan pada tingkat Sekolah Dasar. Karena untuk
mendapatkan hasil yang maksimal dibutuhkan pembiasaan dalam waktu yang cukup
lama. Terutama untuk membiasakan budaya membaca dan sebagainya.
Literasi
sains sangat berpengaruh terhadap ketercapaian aspek afektif selain pada aspek
kognitif. Karena siswa tidak hanya terlatih dalam pengalaman belajar dan
pemahaman materi, tetapi juga bertanggung jawab atas apa yang dipelajarinya
selama proses belajar. Hal ini berkaitan dengan nilai, norma, dan moral. Jika
kemampuan literasi sains seseorang rendah, maka dampak negatifnya tidak hanya dirasakan
ketika seseorang berada di bangku sekolah maupun perkuliahan.Tapi juga
dirasakan ketika orang tersebut berada di lingkungan masyarakat, dan akan
terlihat ketika menanggapi sebuah persoalan.